Selasa, 17 November 2015

Asal-Usul Sejarah Desa Gondang Manis (Gondangmanis)

Gondang Manis. Salah satu desa di kecamatan Bae ini memiliki sejarah desa yang patut disimak. Di sana ada seorang bangsawan bernama Raden Mas Datuk Singo Proyo (Kyai Haji Citro Kusumo) yang membabat hutan di areal tersebut hingga menjadi sebuah desa dengan seluruh keindahannya. Beliau, lahir di Mataram pada hari Senin Pahing 11 Shofar 1038 H / 21 Maret 1716 M dengan nama Raden Onto Kusumo. Sebagai keturunan keempat dari Pangeran Samber Nyowo (Sri Mangkunegara I) yang sepanjang hidupnya berjuang melawan penjajah, maka Raden Onto Kusumo sejak kecil mula juga tidak senang akan keberadaan penjajah di negeri ini.

Masa remajanya dilalui dengan kehidupan kehidupan bersahaja bersama guru-gurunya dan tinggal di padepokan yang jauh dari kota. Setelah dewasa beliau kembali di tengah-tengah keluarga dengan membawa segudang ilmu agama, dan ilmu pengetahuan lain. Beliau kemudian menjadi punggawa di istana Mangkunegaran. Selang beberapa tahun, karirnya menanjak sehingga dianugerahi pangkat tumenggung yang bertugas menjalin hubungan dengan kerajaan/negara sahabat Yogyakarta. Karena tugas tersebut, beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan hingga sampai di daerah Kesultanan Praya di Sumbawa. Sekembalinya dari tugas yang dianggap berhasil itu, beliau bergelar Raden Mas Singo Proyo.

Beliau juga pernah mengadakan suatu kunjungan ke Kesultanan Palembang. Untuk melancarkan tugasnya, beliau tinggal di Palembang selama beberapa waktu. Selama itu pula Raden Mas Singo Proyo semakin akrab dengan keluarga Kesultanan Palembang, termasuk dengan adik sang sultan yang bernama Halimah. Lambat laun terjalinlah hubungan diantara keduanya. Akhirnya Raden Mas Singo Proyo menikah dengan Halimah dan beliau mendapat gelar Datuk karena menikah dengan wanita bangsawan Kesultanan Palembang. Beliau lantas kembali ke Mataram bersama isterinya.

Dari pernikahan tersebut, lahirlah Raden Onto Wongso yang kelak menjabat sebagai Mantri Petinggi bergelar Raden Mas Datuk Singodipuro. Ketika Raden Onto Wongso berusia 4 tahun, Raden Mas Datuk Singo Proyo mendapat anugerah dari raja dengan menjadi bupati Jepara. Daerah Jepara sebagaimana diketahui, adalah daerah yang sering bergolak karena ulah penjajah. 2 tahun di sana, isteri Raden Mas Datuk Singo Proyo wafat dalam suatu perselisihan dengan penjajah. Awalnya, Halimah yang ketika itu berada di pasar membela rakyat pribumi yang mendapat perlakuan sewenang-wenang dari penjajah. Dengan berani beliau bersama beberapa pengawalnya melawan para penjajah. Akibatnya, gugurlah Halimah bersama para pengawalnya karena tidak seimbang dalam segi jumlah maupun persenjataan.

Sejak peristiwa itu, ketegangan demi ketegangan terjadi antara rakyat Jepara dengan penjajah yang berada di pelabuhan Jepara. Misalnya saja, jika ada masalah kecil seringkali menjadi besar dan menimbulkan pertempuran. Semakin hari rakyat Jepara semakin benci terhadap para penjajah. Dengan berbagai cara, mereka bertekad ingin segera mengusir para Belanda tersebut. Apalagi, ketika itu Belanda telah menguasai wilayah Mataram hingga ke pelosok-pelosok. Mereka tidak hanya menguasai perdagangan saja, namun juga politik, pemerintahan, dan pajak.
Keadaan bupati sendiri yang kala itu telah 2 tahun menduda dan belum memiliki isteri lagi, adalah hal yang tabu menurut adat Jawa kala itu. Banyak saran dari keluarga maupun pejabat yang lainnya agar Raden Mas Datuk Singo Proyo segera menikah lagi. Akhirnya, beliau menikah lagi dengan puteri seorang ulama’ bernama Kyai Haji Ali Mukmin Suryo Kusumo. Dari isteri kedua lahirlah 2 orang putera dan 1 orang puteri. Setelah itu Raden Mas Datuk Singo Proyo melaksanakan ibadah haji dan sekembalinya dari tanah suci, beliau bergelar Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo.
Dalam kurun waktu itu, hubungan antara rakyat pribumi dengan penjajah semakin buruk. Selama itu pula penjajah memaksa dengan cara kekerasan agar rakyat pribumi membayar pajak yang seharusnya disetorkan kepada kesultanan Mataram. Bahkan, pajak yang ditetapkan dinaikkan berkali lipat daripada yang seharusnya.
Akhirnya, gejolak rakyat Jepara mencapai puncak pada tanggal 16 Nopember 1768. Pasukan Jepara yang dipimpin bupati Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo menyerang dan mengepung benteng penjajah di Jepara. Pengepungan tersebut berlangsung sekitar 20 hari lamanya.
Dari kedua belah pihak, korban yang luka maupun meninggal dunia juga tidak sedikit. Memasuki minggu ke empat, benteng dapat direbut oleh rakyat Jepara. Meski begitu, rakyat Jepara sadar bahwa hal itu bukan merupakan akhir perjuangan mereka. Perkiraan mereka benar adanya. Setelah 3 minggu benteng dapat dikuasai rakyat Jepara, datanglah kabar dari telik sandi bahwa tentara bantuan Belanda telah mendekati perairan Jepara dengan ratusan kapal perang serta persenjataan yang lengkap termasuk meriam-meriam besar.
Menghadapi serangan tersebut, rakyat Jepara telah siap dengan tekad “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”. Mereka menghadapinya dengan armada laut yang kuat pula, akan tetapi karena tidak seimbang dalam jumlah kekuatan dan persenjataan, mereka akhirnya dapat dipukul mundur. Banyak kapal pasukan Jepara yang tenggelam karena tembakan meriam, sehingga pasukan yang masih hidup segera berlari menyelamatkan diri.
Selang beberapa waktu, pasukan penjajah kembali mengepung kota Jepara dengan menghujani tembakan meriam sehinga kota tersebut porak poranda. Banyaknya korban yang berjatuhan membuat rakyat Jepara mengadakan perlawanan dengan sekuat tenaga. Namun karena memang tidak seimbang dalam kekuatan dan senjata, hampir setiap kubu pertahanan dapat dikalahkan. Melihat hal itu, sebagai bupati Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo dengan berat hati memerintahkan agar sisa-sisa prajurit Jepara mundur dan kembali ke daerah masing-masing untuk menyelamatkan diri.
Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo bersama keluarga dengan dikawal beberapa prajurit kemudian menyingkir ke arah timur menuju daerah Kudus dan akhirnya menetap di sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon Gondang dan pohon jambu monyet (mete).

Sesampainya di sana, Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo bersama keluarga dan para pengawal disambut oleh pasangan suami isteri yang sudah lanjut usia, bernama Aki Buyut Juwiring dan Nini Buyut Leginah. Merekalah yang menghuni hutan Gondang ini sebelum kedatangan rombongan dari Jepara tersebut. Menurutpandangan batin Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo, mereka bukanlah orang sembarangan. Hal tersebut nampak pada wujud lahiriahnya yang sederhana.

Dugaan tersebut benar adanya, karena Aki Buyut Juwiring dan Nini Buyut Leginah menjalani kehidupan sebagaimana kehidupan kaum sufi yang setiap saat tidak pernha berpaling dari Allah SWT.

Dalam keadaan yang masih berupa hutan tersebut, para pengawal Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo mulai membuka hutan dengan rencana dan pengembangan di masa mendatang agar menjadi desa yang teratur dan tertata rapi. Dari proses pembuatan jalan utama, jalan kampung, tata rumah tempat tinggal, pemimpin, perangkatnya, rumah penduduk, tempat ibadah, hingga penentuan tempat untuk berladang, dilakukan secara seksama. Sejak saat itu, orang-orang desa mulai berangan-angan tentang nama desa tersebut nantinya.

Ketika Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo beristirahat di sela-sela pekerjaanya membangun desa, beliau berkonsultasi dengan Ki Buyut Juwiring tentang nama desa kelak. Kemudian oleh Ki Buyut Juwiring dan Nini Buyut Leginah, Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo bersama para penduduk diajak ke satu tempat mata air. Kedua buyut tersebut mempersilakan para penduduk untuk mengambil dan memakan buah pohon Gondang yang tumbuh di dekat mata air itu.

Ada keanehan di sana. Ternyata buah pohon Gondang tersebut berasa manis, tidak seperti buah pohon Gondang pada umumnya. Mata air yang ditumbuhi pohon Gondang yang langka tersebut berada di sebelah barat jalan utama desa yang baru (diperkirakan berada belakang rumah Mbah Kyai Ali Suryo Kusumo). Setelah peristiwa itu, Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo mengambil keputusan untuk menamai desa itu dengan nama “Gondang Legi” (Gondangmanis). Nama Gondang Legi disematkan untuk menghormati Nini Buyut Leginah sebagai orang yang berusia paling tua (sepuh) diantara mereka, sekaligus beliaulah yang menemukan pohon Gondang yang berbuat manis tersebut.

Pada hari itu itu juga Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo memberi penghargaan sekaligus kehormatan kepada Ki Buyut Juwiring dengan memberinya sebutan baru yaitu Kyai Suryo Kusumo. Nama yang mirip dengan mertua sekaligus guru Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo. Raden Mas Datuk Kyai Haji Citro Kusumo Singo Proyo juga mengangkat kedua buyut tersebut sebagai sesepuh, dan guru spiritual.



Menara Kudus

Ketika wafat, kedua buyut tersebut dimakamkan di sebuah tanah yang agak tinggi di atas tebing sungai persis di tengah-tengah pemakaman tersebut.
Karena perjalanan waktu, masyarakat lebih akrab dengan nama Gondangmanis daripada Gondang Legi. Daerah ini sendiri mendapat anugrah dari raja menjadi tanah perdikan (terbebas dari pajak) selama dua periode keturunan, setelah Raden Mas Datuk Singo Proyo melapor kepada Istana Mangkunegaran, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta bahwa beliau dan keluarga telah pindah dari Jepara ke Kudus. Pelaporan tersebut tentu saja terjadi setelah bertahun-tahun Raden Mas Datuk Singo Proyo menetap di Gondangmanis dan terhindar dari kejaran penjajah.
Selain itu, putera-putera Raden Mas Datuk Singo Proyo juga mendapat kedudukan sebagai mantra petinggi setingkat camat.
1.Raden Mas Datuk Singo Dipuro menjadi mantri petinggi Bae di Gondangmanis
2.Raden Mas Kyai Singo Negoro menjadi mantri petinggi di Jekulo
3.Raden Mas Kyai Tohjoyo Singo Dilongo menjadi mantri Dawe di Piji
4.Raden Ayu Sariti menjadi isteri mantri petinggi Kudus di Pejagan
Raden Mas Datuk Singo Proyo termasuk orang alim yang dikaruniai umur panjang, sekitar satu abad lebih. Ketika wafat beliau dimakamkan di sebelah barat makam Kyai dan Nyai Buyut Suryo Kusumo agak ke selatan sedikit. Komplek pemakaman ini dulunya adalah makam keluarga, namun sekarang sudah menjadi pemakaman umum Islam dengan nama “Sedo Luhur”.
Menurut penuturan sesepuh keturunan Raden Mas Datuk Singo Proyo, dulu setiap ada pergolakan yang disebabkan oleh penjajah para keturunan Raden Mas Datuk Singo Proyo selalu memiliki andil yang besar untuk melawannya. Apalagi keturunan Pangeran Samber Nyowo ini memang sangat benci terhadap penjajah, sehingga penjajah sendiri selalu mengawasi gerak gerik keturunan Pangeran Samber Nyowo, dimanapun berada, termasuk Raden Mas Datuk Singo Proyo dan keturunannya.
Pada tahun 1825-1830 ketika pecah perang Diponegoro (perang Kraman) yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat Jawa, Belanda kewalahan menghadapinya. Keturunan Raden Mas Datuk Singo Proyo di Gondangmanis juga ikut serta dalam perang tersebut, berupa mengirimkan pasukan yang direkrut dan dilatih di pondok pesantren yang didirikan Syaikh Panembahan Nurul Yaqin Al-Hafidz. Beliau adalah keturunan Sunan Kalijaga. Ketika terjadi perang tersebut, pondok itu diasuh oleh generasi keempat Syaikh Panembahan Nurul Yaqin Al-Hafidz, yang juga keturunan dari Raden Mas Datuk Singo Proyo bernama Raden Mas Kyai Karjin.
Salah satu pabrik rokok ter-besar di Indonesia 
yang terletak di Ds. Gondangmanus 
"Djarum Oasis Kretek Factory"

Perang ini menghabiskan sebagian besar kas negara Belanda, juga mengorbankan nyawa yang tidak sedikit kala itu. Karena kekecewaan Belanda, mereka pun melakukan tipu daya kotor berupa penangkapan Pangeran Diponegoro yang semula pura-pura diajak berunding. Penangkapan itu berakibat fatal terhadap pejuang yang berada di daerah-daerah. Mereka diburu, ditangkap, dan dieksekusi. Pondok yang menjadi tempat perekrutan pejuang juga dibakar dan dibumi hanguskan, termasuk dieksekusinya para santri. Sehingga musnahlah pondok yang pernah besar dan terkenal itu.

Demikian sobat, sedikit cerita tentang desa saya :D
Semoga bermanfaat dan menambah Ilmu sobat. Terimakasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ya sob ;)

Drg. Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya



!!MERDEKA!!!
KESEMPATAN KALI INI ANE MAU SHARE TENTANG BAPAK PROKLAMASI KITA DARI SUDUT PANDANG SEORANG DOKTER GIGI BUNG KARNO YANG BERNAMA Drg. Oei Hong Kian
LANGSUNG AJAH MENUJU TEKAPE

Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri.
Tetap senang bergurau
Setelah acara basa-basi itu, saya persilakan BK masuk ke kamar praktik dari pintu di dalam rumah. Seorang prajurit mengikuti kami. Saya tidak bisa bekerja sambil ditunggui, jadi saya memintanya menunggu di luar. Untunglah ia mau mengerti, walaupun semula menolak.
Saya dibantu keponakan istri saya, seorang wanita dokter gigi. BK rupanya selalu ingat pada nama-nama orang yang dijumpainya. Setelah itu kalau keponakan istri saya tidak ada, BK tak pernah lupa menanyakannya.
Saya merasa lega melihat BK tidak dalam keadaan menyedihkan. Saya sudah menanyakan kepada dokter pribadinya, apakah BK boleh mendapat suntikan kalau diperlukan. "Boleh saja," jawabnya.
Pria yang duduk di kursi praktik saya itu ternyata masih tetap berpikiran jernih. Sikapnya masih riang seperti dulu-dulu dan percakapannya juga penuh humor. Sambil melepaskan pecinya, BK bertanya, "Saya ingin tahu apakah Pak Dokter masih bisa menghargai foto saya."
"Pak," jawab saya, "Bapak tentu pernah memberikan foto Bapak kepada banyak orang, tetapi karena Bapak mengirimkannya kepada saya pada saat itu, foto itu tinggi nilainya bagi saya."
Jawaban itu bukan saya berikan dengan basa-basi. Saya belum lama mengenal BK. Saat ia sangat terpukul karena pamornya merosot, ternyata ia masih ingat menyampaikan cendera mata kepada saya. Apakah itu penghargaan atas pelayanan saya sebagai dokter gigi, ataukah tanda mata bagi salah seorang dari beberapa gelintir orang yang membantu mengusir kesepiannya di saat sulit, walaupun cuma sebentar saja?
"Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa," katanya. Saya sampai tidak bisa berkata-kata.
Tak pernah jam karet
Ketika akan pulang, BK minta bertemu dengan istri saya Di ruang duduk, istri saya menyilakan BK duduk untuk minum teh dulu, tetapi BK menolak. "Terima kasih. Nanti suami Anda bisa dikira yang bukan-bukan, kalau saya berlama lama di sini," katanya.
Suatu kali, ketika ia datang, putri saya sedang membuat PR. BK berhenti sebentar di sebelahnya untuk melihat apa yang dibuat anak saya itu. Kemudian ia mengusap-usap kepala anak saya sambil berkata, "Belajar baik-baik, ya, Nak. Supaya nanti pandai!"
Kebetulan putri saya yang nomor tiga memasuki ruangan. "Wah, kau pasti ingin jadi dokter kelak, seperti ayahmu," katanya seraya menghampiri dan mengusap-usap kepala anak itu juga. Kedua anak saya itu kini sudah menjadi dokter gigi.
Pada suatu pagi BK datang tanpa iringan jip.
"Kok sendirian, Pak," tanya saya.
"Mereka belum datang, padahal saya tidak mau datang terlambat."
BK memang selalu datang sesuai perjanjian. Hal itu tentu sangat memudahkan bagi saya, yang antijam karet. Jenderal Bambang Sugeng ketika menjadi dubes RI untuk Vatikan pernah bergurau, "Saya mendapat kabar, kalau berobat pada Anda, pasien tidak boleh datang terlambat. Kata orang, tak peduli menteri, kalau terlambat sampai lima menit pasti ditolak."
Saya jelaskan bahwa hal itu sebetulnya bukan karena saya sok, tetapi demi keuntungan pasien sendiri. Tidak enak 'kan kalau pasien menunggu berjam-jam. Lagi pula saya tidak bisa bekerja dengan tenang kalau ditunggui banyak orang. Karena itulah saya membuat janji dulu dengan pasien dan saya selalu menepati janji saya.
Kelima jip pengawal BK baru datang pada saat BK hampir pulang.
Diduduki kawan maupun lawannya
BK memerlukan dua-tiga kali kunjungan setiap kali merasa giginya mengganggu. Suatu kali BK berkata, "Saya ingin berbicara blak-blakan dengan Pak Dokter. Saya ingin tinggal agak lama sedikit di Jakarta. Di Jakarta saya lebih dekat dengan anak anak. Mungkinkah itu?"
Setahu saya, saat itu BK tinggal di Bogor, tetapi kalau sedang membutuhkan perawatan gigi, BK tinggal di Jln. Gatot Subroto (kini Museum ABRI Satria Mandala). Dari sana BK hanya boleh pergi-pulang ke rumah saya. Namun, putra-putrinya boleh menemaninya di Jln. Gatot Subroto.
Saya menjawab, "Tentu mungkin, Pak. Waktu pengobatan bisa diulur. Seandainya diulur tiga minggu, cukup, Pak?"
BK kelihatan gembira sekali. "Wah, terima kasih banyak!" jawabnya. Saya sampai terharu karena hal sekecil itu saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang sedang kesepian itu.
Saya jadi teringat bahwa kursi yang diduduki BK itu sebenarnya sering pula diduduki orang-orang yang sepaham maupun yang tidak sepaham dengannya. Sudiro, Hardi, Soenarjo, Sutan Syahrir, Maria Ulfah, Suwiryo, Sumanang, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo, Roeslan Abdulgani, Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Oey Tjeng Hien, Soedjatmoko, Prijono, Muljadi Djojomartono, Maladi, B.M. Diah, Manai Sophiaan, Chaerul Saleh, Iskaq, Djatikusumo, Oemar Seno Adjie, Wirjono, Soeprapto, Sukardjo Wirjopranoto, Bambang Sugeng, dan Iain-lain.
Bahkan salah seorang Pahlawan Revolusi, Letjen S. Parman, masih duduk dengan santai di kursi itu, sekitar dua belas jam sebelum dibunuh dengan  kejam di Lubang Buaya. Saya sampai terguncang, ketika mendengar berita bahwa pasien saya mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, kami tak pernah membicarakan soal politik, tak pernah ia marah-marah dan percakapan kami selalu penuh gelak tawa. Saya teringat pada teman saya, Muchtar Lubis, yang semasa disekap bertahun-tahun di masa Orde Lama, juga selalu kelihatan tabah di kursi praktik saya. Saya sampai pernah bertanya kepadanya, "Muchtar, pernahkah kau menangis?"
"Hanya kalau sedang sendirian," jawab Muchtar.
Mengerti apa itu kesepian
Suatu kali BK pernah berkata, "Ibu juga ingin datang berobat kemari." Saat itu hampir terlontar dari lidah saya, "Ibu yang mana?" Namun, betapapun akrabnya hubungan kami, saya kira tidak sepatutnya saya mengeluarkan pertanyaan itu.
Saat itu dua anak saya sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Kedua adik mereka akan segera menyusul. Jadi saya hanya akan berdua saja dengan istri saya di Jakarta. Kami pasti akan merasa sangat kehilangan. Jadi kami pikir, daripada keluarga kami terpisah-pisah, lebih baik kami pindah saja ke Amsterdam.
Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, saya beritahukan rencana kami untuk pindah ke Negeri Belanda pada akhir Maret.
"Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi 'kan?" jawabnya.
Pertengahan Maret, BK menyatakan ingin pulang ke Bogor dulu, padahal saya membutuhkan kedatangan BK sekali lagi untuk memasang tambalan emas. Kami berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya pada 21 Maret 1968.
Ternyata antara tanggal 21-30 Maret ada Sidang Umum MPRS. Saya diberi tahu yang berwajib bahwa BK tidak bisa mengunjungi saya pada tanggal 21 itu. BK ternyata juga tidak bisa datang pada hari-hari selanjutnya, padahal saya harus berangkat ke Negeri Belanda pada 30 Maret 1968. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK saya percayakan kepada rekan sejawat saya.
Walaupun setelah itu paling sedikit sekali setahun saya pulang ke tanah air, saya tidak pemah melihat BK kembali. (Intisari)